Foto saat penguburan Aba Bau di Rujak-Desa Tumbang
Tukun
Etrometrojaya.com – Aba Bau
bernama asli SANADUT S.HENDJAN (Bapa
Cilik). Ia adalah paman saya, kakak kandung ayah saya. Panggilannya Aba Bau
(Dalam bahasa Ot Danum, Aba = ayah, Bau = mulut), karena dia adalah paman kami
yang pemarah, suaranya nyaring, sering membentak, dan suka berkelahi.
Saya sangat menghormati dan
menyayangi paman saya ini. Dan ia pun sangat menyayangi saya.
Ia telah meninggal pada tanggal
11 Juli 2016. Sekitar 3,4 tahun yang lalu.
Saya ingat dulu suatu ketika
waktu saya masih kecil, kelas 2 SD, dan Aba Bau masih belum sangat tua. Ia
membawa saya ikut menjaring ikan kucut di
Riam Horas.
Kucut adalah ikan yang
sangat besar di Sungai Kapuas tengah dan hulu, bentuk tubuhnya seperti pesawat,
warna kulitnya loreng tentara, warna dagingya kuning. Sekarang sudah terancam
punah/langka.
Riam Horas adalah riam yang
sangat besar dan ada teluk yang sangat dalam yang terletak di Wilayah Desa
Tumbang Tukun, Kab.Kapuas-Kalteng.
(Lain kali kalau saya ada
waktu pulang kampung, saya akan upload fotonya, hehe…).
Kami berangkat dengan
mendayung perahu arah mudik sungai Kapuas. Jaraknya dari pemukiman desa lumayan
jauh.
Ketika sore awal sampai riam
setelah memasang jaring, Aba Bau meninggalkan saya sendiri di perahu sambil memancing.
Ternyata Aba Bau naik ke darat untuk mengambil sayur sambi di ladang orang, hehe…
Saya merasa sangat takut
karena sendirian. Waktu itu masih lumayan primitive.… Tak lama, tiba-tiba ada
yang mematuk pancing saya, saya tidak tau bentuk ikannya karena tidak terlihat,
masih di dalam air, sangat besar, dan tarikannya kuat, sehingga tali pancing
saya yang ukurannya besar itu pun terputus. Kemudian tiba-tiba ada kapal kelotok datang dari arah hilir. Saya
menjadi sangat ketakutan, karena zaman itu banyak kayau (pemenggal kepala) menggunakan kapal kelotok. Saya berteriak
memanggil Aba Bau. Aba Bau pun dengan cepat mendatangi saya.
Hahaha…
Kami bermalam 1 malam di
riam tersebut, buat tenda dari terpal, memasak, makan dan tidur di atas
hamparan bebatuan…makanannya terasa sangat enak.
Suhunya sangat dingin,
apalagi di pagi hari.
Ketika saya merantau ke kota
untuk sekolah menuntut ilmu, Aba Bau makin tua.
Ia sangat senang sekali
ketika saya pulang kampung jika ada liburan sekolah.
Tahun demi tahun, Aba Bau
makin tua, Aba Bau sering duduk termenung di depan rumahnya. Diperantauan saya
dengar kabar Aba Bau sudah tidak kuat membentak lagi, suaranya sudah tidak
nyaring, dan sudah tidak kuat lagi marah. Hingga suatu ketika ia jatuh saki dan
stroke serta tidak bisa berbicara.
Suatu ketika ada liburan,
saya pulang kampung. Kata anak-anak nya Aba Bau sudah tidak bisa mengenal orang
lagi. Sakitnya sudah kritis. Akhirnya saya mengurungkan niat saya untuk
menjenguknya. Tiap beberapa kali saya pulang kampung, setelah itu saya tidak
pernah lagi menjenguk Aba Bau. Karena saya pikir ia sudah tidak mengenal saya
lagi.
Sakit Aba Bau sangat lama,
bertahun-tahun. Aba Bau sangat tersiksa. Kata anak-anaknya Aba Bau tidak bisa
menghembuskan nafasnya (tidak bisa meninggal) karena nyawanya tertahan akibat
ilmu (kaji) nya. Keluarganya pun
berunding untuk mencari/memanggil/menghadirkan orang berilmu/paranormal/pangaji untuk melepaskannya agar ia bisa
meninggal dengan tenang. Hal ini memerlukan dana/uang yang besar untuk
diberikan kepada paranormal. Rencana mereka memanggil paranormal dari
Barito-Kalteng.
Suatu ketika saya pulang kampung.
Setelah ibadah minggu, saya tergerak hati untuk menjenguk Aba Bau. Saya tidak
perduli Aba Bau mengenal atau tidak mengenal saya.
Saya lihat Aba Bau
berbaring, kondisinya sangat menyedihkan. Saya mencoba untuk berbicara
dengnnya.
“Aba Bau, tuh ahku Etro ahkom, ahku harun dumah bara Plangka, kabar ine
aba pios ih, masih ingatlah Aba Bau mba ahku?” Artinya: “Aba Bau, ini saya
Etro, keponakanmu, saya baru datang dari Palangka Raya, kabar Ibu dan Ayah saya
di Palangka Raya baik, apa Aba Bau masih ingat dengan saya?”
Saya terkejut, ia meresponi
saya, ia berusaha menggerakkan tangannya untuk bersalaman dengan saya. Saya pun
meraih tangannya untuk bersalaman.
Air mata saya mengalir
deras.
Sambil memijatnya saya pun
bercerita untuknya tentang cerita-cerita bahagia dulu, cerita waktu ia masih
belum tua dulu. Ia sangat senang mendengar cerita saya.
Saya pun menelpon ayah ibu
saya di Palangka Raya, saya aktif kan loud speaker hp saya agar ayah ibu saya
bisa berbicara juga dengan Aba Bau. Aba Bau merespon dan sangat senang. Rupanya
ia juga kangen dengan ayah saya. (Ayah saya adalah adik bungsu nya).
Kemudian ia memberi isyarat
untuk meminta saya berdoa untuknya, ia berusaha melipat tangannya untuk berdoa
bersama saya. Saya pun berkata: “ayo koro
balahku dua Aba Bau” (Artinya: Aba Bau, ayo kita berdoa”).
Saya terkejut karena iya
menjawab: “iyoh” Artinya: iya.
Padahal ia sudah
bertahun-tahun tidak bisa berbicara.
Saya pun berdoa agar Tuhan
mengampuni dosa-dosa kami, agar Tuhan melepaskan ilmu-ilmu yang mengikat Aba Bau.
Setelah selesai berdoa,
wajahnya tampak cerah, dia terlihat tenang, dan tak lama ia menghembuskan nafas
nya yang terakhir dengan tenang…
Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar